Kamis, 11 Agustus 2011

Sejauh Mana Anda Menerima Diri Anda? (Part I)



Sesaat sebelum saya menulis tulisan ini saya membayangkan sebuah situasi dimana saya sedang mempertanyakan diri saya sendiri --saya yakin bahwa anda juga sering mengalami hal-hal seperti ini. Situasi tersebut sering timbul ketika saya sedang berinteraksi dengan orang lain. Mempertanyakan diri sendiri saat berinteraksi dengan orang lain? Ya. Berinteraksi dengan orang lain selalu menimbulkan interaksi lain yang berhubungan dengan diri kita sendiri. Untuk lebih jelasnya mari kita cermati contoh situasi yang pernah saya hadapi yang pasti anda juga pernah --bahkan sering menghadapinya juga.

Saat itu saya sedang hang out bersama teman-teman saya. Kita ngobrol dari A-Z hingga pucuk Pluto sampai desa Angin Sari. Di pertengahan obrolan kita tiba-tiba sesosok wanita sangat cantik melintas di hadapan kita yang menimbulkan efek luar biasa kepada kita. Bagaimana tidak luar biasa? Kita sedang mengambil topik obrolan yang asyik hingga tidak ada satu pun dari kita yang diam saja atau nyerocos terus tanpa henti. Tepat saat wanita tersebut melintas, kita serentak tanpa aba-aba langsung menghentikan obrolan seraya menoleh ke arah wanita tersebut tanpa tedeng aling-aling. Setelah wanita tersebut jauh dari pandangan kita --atau saat kita sadar bahwa kita telah terlihat bodoh dengan menunjukkan wajah mupeng saat melihat wanita tersebut kita langsung melanjutkan obrolan yang tadi sempat rehat sejenak dengan tingkat keasyikan yang seolah-olah terus berlangsung tanpa ada halangan walaupun kita sendiri tahu bahwa sang wanita telah masuk secara paksa ditengah-tengah obrolan tersebut. Luar biasa bukan?

'Lalu apa hubungan menerima diri sendiri dengan contoh kasus yang terjadi di atas?' Sejenak kita coba cermati cerita di atas.

Awal cerita tidak menunjukkan keanehan apa pun. Kita hanya sekumpulan pemuda dengan satu visi yaitu untuk hang out  bareng. Obrolan yang asyik pun bukan lah suatu yang aneh mengingat kesamaan background kita sehingga mau tidak mau tetap ada suatu bahan obrolan yang menarik hati kita semua. Pula dengan hal saat kita menghentikan obrolan sejenak dan serentak menoleh kepada wanita cantik yang tiba-tiba tanpa kita sadari melintas di hadapan kita mengingat bahwa --setahu saya-- tidak ada tipe laki-laki gay di antara kita. Letak keanehan tersebut adalah pada saat kita melanjutkan obrolan yang tadi sempat terhenti sejenak. 

Kenapa kita harus melanjutkan obrolan padahal kita tahu bahwa jauh di dalam diri kita kita sangat ingin mengenal wanita tersebut. Kita dapat mengelak dengan ‘ahh, dia bukan tipe saya’ atau ‘ngga, ahh, males’ atau hal-hal sejenis lainnya. Tapi kenapa kita harus membohongi diri sendiri? Jika wanita tersebut secara fisik bukan tipe anda kenapa anda harus menoleh ke arahnya dengan muka mupeng? Lalu apakah anda benar-benar malas saat anda mengucapkan kata ‘malas’ atau hanya sekedar jawaban palsu atas ketidak beranian anda? Dan apakah jawaban-jawaban lain yang mungkin anda ucapkan tersebut merupakan representasi asli dari apa yang anda pikirkan dan anda rasakan?

‘Okay, okay, gue cuma berdalih doang. Tapi gimana lagi? Gue takut kalau dia ga mau diajak kenalan. Gue takut ini. Gue takut itu dan bla, bla, bla.’

Hal tersebutlah yang saya namakan dengan tidak mau menerima diri sendiri. Bukan tidak dapat dan bukan tidak bisa tetapi tidak mau. Kenapa kita harus mengabaikan keinginan diri kita sendiri demi hal-hal yang sebenarnya tidak penting. Okay anggap saja bahwa dalih anda benar bahwa ketika anda mengajak berkenalan dengan sang wanita, anda langsung di-reject bahkan saat anda belum mengucapkan kata-kata anda. Melihat hal tersebut orang-orang di sekitar anda baik yang mengenal maupun yang tidak mengenal anda menertawakan anda dengan terbahak-bahak dan mempermalukan anda. 

Lalu apakah ada yang aneh hal itu? Okay, mungkin anda merasa malu ketika anda ditertawakan orang banyak ketika anda menerima penolakan tersebut. Tapi saya katakan bahwa anda sudah melakukan suatu hal kecil yang sangat bermakna. Anda mengikuti apa kata hati anda. Anda menerima diri anda. Mereka mungkin tidak menerima diri anda tapi ada seorang yang sangat hebat yang mau menerima diri anda, yaitu anda sendiri. 

Tidak ada hal yang lebih indah daripada menerima diri sendiri dan tidak membohongi diri sendiri. Anda mungkin terkenal, punya uang banyak, teman yang banyak, dan banyak hal menyenangkan lainnya, tapi hal tersebut tidak lah berarti jika anda sendiri saja tidak mau menerima diri anda sendiri. Dengan tidak menerima diri sendiri secara tidak langsung anda menaruh papan pengumuman yang sangat besar di kepala anda yang bertuliskan ‘Jangan anggap saya ada. Saya sendiri tidak menganggap saya ada’. Jika anda adalah orang seperti di atas, jangan minta kepada orang lain untuk menerima diri anda. Pula jangan minta saya sebagai penulis artikel penerimaan diri ini untuk menerima anda. Untuk apa saya menerima diri anda jika anda sendiri saja tidak mau menerima diri anda sendiri?

Sekian tulisan dari saya. Semoga menjadi manfaat bagi anda semua.

Omong-omong saya menggunakan sedikit candaan ketika menulis bahwa saya tidak akan menerima diri anda. Saya pasti akan menerima diri anda siapa pun anda. Anda akan saya terima sejauh mana anda menerima diri anda sendiri.  :)

~ Craze ~

0 komentar:

Posting Komentar